Prabu Watu-Gunung dari Negeri Giling-Wesi

Kisah dari negeri Giling-Wesi, rajanya bergelar Watu-Gunung. Permaisurinya dua orang. Pertama, bernama Dewi Sinta dan yang kedua Dewi Landep. Putranya dua puluh tujuh orang. Semuanya laki-laki, yaitu Wukir, Kurantil, Tolu, Gumbreg, Warigalit, Wariagung, Julung-Wangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Manda-Siya, Julung-Pujut, Pahang, Kuru-Welut, Marakeh, Tambir, Mandangkungan, Maktal, Puye, Menahil, Prang-Bakat, Baal, Wugu, Wayang, Kulawu, Dukut. Semua keturunan dari Dewi Sinta.

Pada waktu itu negeri Giling-Wesi terjadi huru-hara besar. Ba-nyak rakyat kecil yang menderita, makanan sukar didapat, sering terjadi gerhana matahari maupun gerhana bulan, hujan salah musim, gempa tujuh kali sehari. Itu sebagai isyarat Negeri Giling-Wesi akan rusak.
Prabu Watu-Gunung sangat sedih menyaksikan penderitaan rak-yatnya itu. Suatu hari sang Raja sedang tiduran di tempat peraduan yang terbuat dari gading. Istrinya, yang bernama Dewi Sinta sangat terkejut ketika melihat Raja cacat botak di kepalanya, lalu bertanya apa yang menjadi sebab-musababnya. Sang Prabu member! tahu ketika masih anak-anak, ketika ibunya sedang menanak nasi, beliau rewel
lalu dipukul dengan entong sampai berdarah. Lalu pergilah beliau tanpa arah dan tujuan.
Betapa terkejutnya Dewi Sinta, sampai tak dapat bicara mende-ngar pengakuan sang Prabu. Teringatiah akan putranya yang tak per-nah kunjung pulang, karena dipukul dengan entong, persis seperti yang diceritakan sang Raja. Sangat sedih hatinya, sebab dirinya ternyata telah dipersunting oleh putranya sendiri. Sang Putri merenung mencari jalan agar dapat lepas dari sang Raja yang tak lain dan tak bukan acia-lah anak kandungnya sendiri.
Karena lama terdiam saja, bertanyalah raja mengapa demikian lakunya. Dewi Sinta menjawab sebenarnya ia sedang berpikir. Bahwa sang Raja akan lebih sempurna keluhurannya jika mempunyai per-maisuri bidadari dari Sura-Laya. Dewi Sinta berkeyakinan jika sampai berani melamar ke sana pasti akan terjadi perang, sang Raja pasti akan menemui ajalnya. Inilah jalan untuk dapat lepas dari suaminya.
Setelah diberitahu demikian Prabu Watu-Gunung lalu berniat masuk Sura-Laya, melamar bidadari. la segera menjatuhkan perintah kepada para punggawa serta kepada putranya yang berjumlah dua puluh tujuh tadi, memberangkatkcui prajuritnya ke Sura-Laya.
Setelah Batara Guru menclengar raja di Giling-Wesi akan naik ke Sura-Laya, maka dipanggillah para dewa. Semua ditanya mau atau tidak menghadapi Prabu Watu-Gunung. Semua menjawab takut. Lalu Sanghyang Narada member! saran kepada Batara Guru, agar me-manggil putranya Batara Wisnu. Bila mampu mengalahkan raja Giling-Wesi, akan diampuni dosa-dosanya. Sebab selain Batara Wisnu rasa-rasanya tidak ada yang mampu melawan Prabu Watu-Gunung.
Batara Guru mengiyakan, Sanghyang Narada lalu turun dari Sura-Laya, akan mencari Batara Wisnu.
Sanghyang Narada dapat menemukan Batara Wisnu yang sedang bertapa di bawah tujuh pohon beringin. la lalu menyampaikan perintah Batara Guru, seperti yang tersebut tadi.
Batara Wisnu bersedia mengalahkan Raja Giling-Wesi, tetapi motion izin untuk pulang terlebih daliulu, akan berpamitan dengan istrinya. Sanghyang Narada dimohon menunggu di bawah pohon beringin tujuh tadi.
Batara Wisnu lalu berangkat, untuk menemui istrinya. Ketika ditinggal pergi dulu, istrinya sedang menganciung. Batara Wisnu ber-pesan, bila lahir seorang putra, diberi nama Srigat. Setelah yang lahir laki-laki lalu diberi nama sesuai dengan pesan suaminya. Setelah de-wasa tampan rupanya.
Kemudian Batara Wisnu datang bertemu dengan permaisuri dan putranya. Permaisuri diberitahu, bahwa dirinya dipanggil oleh Batara Guru naik ke Sura-Laya, diperintahkan untuk menghadapi raja Giling-Wesi. Putranya ingin ikut, tetapi Batara Wisnu melarang. Setelah berpa-mitan dengan permaisurinya, ia lalu berangkat. Kemudian bertemu dengan Sanghyang Narada di bawah pohon beringin tujuh.
Raden Srigati yang ditinggal tadi mengejar kepergian ayahnya. Sampai di pohon beringin tujuh duduklah ia di belakangnya. Sanghyang Narada, setelah tahu bahwa itu adalah putra Batara Wisnu dan ikut ke Sura-Laya, memberi nasihat kepada Batara Wisnu, jangan mem-bawa putranya. Itu mungkin dapat membangkitkan amarah Batara Guru.
Putranya lalu diperintah untuk pulang. Sanghyang Narada dengan Batara Wisnu segera berangkat ke Sura-Laya. Raden Srigati ditinggal di bawah beringin tujuh.
Perjalanan Sanghyang Narada bersama Batara Wisnu akhirnya sampai di Sura-Laya. Mereka bersama-sama menghadap Batara Guru. Baru asyik berbicara, tidak lama kemudian Raden Srigati yang ditinggal tadi, menyusul perjalanan ayahnya. Sampai di bangsal ke-dewataan, ia duduk di belakang ayahnya. Batara Guru setelah melihat ada seorang pemuda tampan wajahnya, duduk di belakang Batara Wisnu, bertanya kepada Sanghyang Narada siapakah pemuda tersebut.
Narada memberi tahu, bahwa itu putranya Batara Wisnu, ketu-runannya dengan putri dari Mendang. Batara Guru, setelah mende-ngarkan laporan demikian, sangatlah murka. la kemudian berdiri dari tempat duduknya, masuk ke dalam. Narada mengikutinya, tahu bahwa Batara Guru marah.
Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada, supaya mengambil putranya Batara Wisnu akan dibunuh, untuk tum-bal di surga. Sedang Batara Wisnu diperintahkan untuk segera menghadapi musuh.
Setelah Batara Wisnu mendapat perintah demikian, ia memberi jawaban, jika putranya akan dibunuh, dia tidak mau menghadapi musuh. Sanghyang Narada lalu memberi tahu kepada Batara Guru, ten-tang jawaban Batara Wisnu. Tidak lama kemudian di luar gempar se-ruan-seruan, "Musuh datang!" Batara Guru sangat takut serta gemetar memohon petunjuk kepada Sanghyang Narada.
Jawaban Sanghyang Narada, jika tidak dibatalkan niatnya untuk membunuh Srigati dan Batara Wisnu tidak mau berperang, tak urung rusaklah Sura-Laya. Batara Guru menuruti saran Sanghyang Narada, tidak jadi niatnya untuk membunuh Srigati. Lalu Batara Wisnu diperintah untuk menghadapi musuh.
Batara Wisnu beserta putranya lalu keluar dari bangsal kede-wataan, menghadapi raja Giling-Wesi. Dan kemudian bertemu dan sa-ling berhadap-hadapan dengan raja Giling-Wesi. Sang Raja menawar-kan kepada Batara Wisnu, tidak usah berperang. Jika dapat meneri-ma "cangkriman"-nya (teka-teki) sang Raja mengalah sukarela untuk dibunuh. Tetapi jika tidak dapat menebak "cangkriman"-nya semua de-wa di Sura-Laya harus takluk menyerah. Menyerahkan semua bida-dari, untuk dijadikan istrinya.
Batara Wisnu menyetujui penawaran tadi. Sang Raja lalu mem-beberkan cangkriman-nya, "Ada pohon adikih, adakah buahnya. Ada pohon adakah, adikih buahnya?"
Cangkriman itu dijawab oleh Batara Wisnu, "Pohon adikih, adakah buahnya, itu semangka. Pohon adakah, adikih buahnya, itu beringin."
Sang Raja tidak bisa bicara, sudah tertebak cangkrimannya. lalu diserang dengan senjata cakra oleh Batara Wisnu hingga putus lehernya. Semua bala-tentaranya ketakutan, bubar, kembali pulang semua nya.
Setelah meninggalnya Prabu Watu-Giling, Dewi Sinta sangat sedih dan menangis. Tangisannya mendatangkan gara-gam, kerusuhan sampai di Sura-Laya, hingga menjadikan susah para dewa. Batara Guru bertanya kepada Sanghyang Narada, apa yang menjadi sebab gara-gara. Sanghyang Narada memberi tahu sebab terjadinya gara-gara karena tangis-haru dari Dewi Sinta yang berduka-cita sebab gugurnya Prabu
Watu-Gunung. Batara Guru lalu memerintahkan Sanghyang Narada untuk menemui Dewi Sinta, memintanya supaya berhenti menangis. la menyanggupi dalam waktu tiga hari sang Prabu Watu-Gunung akan dihidupkan kembali, diturunkan serta diangkat jacii raja cii negara Giling-Wesi lagi.
Sanghyang Narada lalu menyampaikan perintah Batara Guru kepada Dewi Sinta. Dewi Sinta lalu berhenti menangis. Gam-gam besar itu pun segera hilang. Setelah sampai tiga hari Prabu Watu-Gunung tidak kelihatan, Dewi Sinta menangis lagi, mendatangkan gam-gam. Hingga melebihi yang sudah terjadi. Batara Guru menanyakan kepada Sanghyang Narada apa yang menjadi sebab gam-gam. Sangyhang Narada menjawab, bahwa yang menjadi sebab gam-gam itu adalah Devvi Sinta juga. Karena sudah sampai batas tiga hari, Prabu Watu-Gunung belum kembali ke Negara Giling-Wesi. Batara Guru lalu memerintahkan kepada Sanghyang Narada, menghidupkan Prabu Watu-Gunung, serta memulangkan ke negara Giling-Wesi.
Setelah Prabu Watu-Gunung dihidupkan oleh Sanghyang Narada, ia diperintahkan kembali ke negeri di Giling-Wesi. Tetapi sang Prabu tidak mau, sebab sudah merasa senang di surga. Permintaannya, permaisuri serta putranya agar dinaikkan ke surga bersatu dengan sang Raja. Batara Guru mengizinkan permohonan itu, lalu memerintahkan permaisuri beserta putranya naik ke surga. Mereka diambil satu per satu tiap hari Ngahad (Ahad, Minggu). Itulah permulaan adanya wuku tiga puluh.
Dari permintaan Sanghyang Narada kepada Batara Guru, Batara Wisnu diturunkan ke Marcapada menjadi raja para lelembut dan mengiisai delapan tempat: di Gunung Merapi, Pamantingan, Kabare-yan, Lo-Daya, Kuwu, Wringin Pitu, Kayu Ladeyan, dan di Roban.
Batara Brama diturunkan ke Marcapada menjadi raja di Negara Giling-Wesi, menggantikan Prabu Watu-Gunung. Pulau Jawa sudah takluk. Lama-lama Batara Brama punya anak putri, bernama Bramani. Dan Bramani berputra Tri Tusta. Tri Tusta berputra Pari Kenan. Pan Kenan berputra Manu Manasa. Marvu Manasa berputra Sakutrem. Sa-kutrem berputra Sakri. Sakri berputra Palasara. Palasara berputra Be-gawan Abiyasa. Begawan Abiyasa berputra Pandu-Dewa-Nata, men-
jadi raja di Astina. Pandu-Dewa-Nata berputra Arjuna. Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu meninggal di medan pertempuran, mening-galkan istri yang hamil tua. Sang istri melahirkan seorang putra bernama Parikesit, menjadi raja di Astina puia. Prabu Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Dan Gendrayana berputra Jayabaya. Lalu musnah negaranya. Jayabaya di Kediri berputra Jaya Wijaya. Jaya Wijaya berputra Jaya Misena. Jaya Misena berputra Kusuma Wicitra. Kusuma Wicitra berputra Citrasoma. Citrasoma berputra Pancadriya. Pancadriya berputra Angling-Driya. Angling Driya berputra Prabu Sawrela Cala, merajai tanah Jawa. Negaranya di Parwacarita. Prabu Sawela Cala berputra Sri Maha Panggung. Patihnya bernama Jugul Muda. Sri Maha Panggung berputra Kandi Awan. Patihnya bernama Kontara. Kandi Awan berputra lima. Yang pertama bernama Panuhun, jadi raja para petard di Pagelen; yang kedua bernama Sandang Garba menjadi raja pedagang di Jepara; yang ketiga bernama Karung Kala. Kesukaannya berkelana di hutan. Menjadi raja di Prambanan bergelar Raja Baka. Putra yang keempat bernama Tung-gul Metung. Kesukaannya menjadi raja para pekerja. Putra yang kelima bernama Resi Gatayu, menggantikan ayahnya menjadi raja di Koripan. ResiGatayu berputra lima. Putra pertama putri, bernama RaraSuciyan. Kedua bernama Lembu Amiluhur, menjadi raja Jenggala; yang ketiga bernama Lembu Peteng menjadi raja di Kediri; yang keempat bernama Lembu Pengarang menjadi raja Gegelang; yang kelima putri bernama Ni Mregi Wangsa. Suaminya bernama Lembu Amijaya, menjadi raja di Singasari.
Lembu Amiluhur berputra Panji, menyanting putri dad Kediri bernama Dewi Candra Kirana atau Dewi Galuh. Panji berputra Kuda Laleyan, menjadi raja di Pajajaran. Prabu Laleyan berputra Banjaran Sari. Banjaran Sari berputra Munding Sari. Munding Sari berputra Mun-ding Wangi. Munding Wangi berputra Sri Pamekas. Sri Pamekas berputra Arya Bangah dan Raden Sesuruh. Arya Bangah menjadi raja di Galuh. Sedang Raden Sesuruh itu diharapkan menjadi raja di Pajajaran.